Rabu, 23 Maret 2016

Tugas Sejarah : Biografi Tan Malaka


Tan Malaka: Perintis Republik Indonesia Merdeka

Tan Malaka sebenarnya adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis keturunan Ibu yaitu gelar Datuk Sutan Malaka. Beliau lahir di Nagari Pandan Gadang, Suluki, Lima Puluh Kora, Sumatera Barat. Beliau asli keturunan orang padang. Karena itu beliau mendapatkan gelar datuk Sutan Malaka. Ayahnya bernama HM. Rasad. Dan ibunya bernama Rangkayo Sinah. Bapaknya hanya seorang biasa yang bekerja sebagai karyawan pertanian. Namun Ibunya adalah salah seorang putri dari seseorang yang disegani di desanya. Siapa sangka semasa kecilanya seorang Tan Malaka menyukai pencak silat. Tan Malaka sangat senang mempelajari ilmu agama dan Pencak silat.

Tahun 1908 Tan Malaka kecil memulai pendidikannya. Dirinya didaftarkan ke sekolah Kweekschool di Fort de Kock. Kweekschool ini adalah merupakan sekolah guru Negara. Yaitu salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda. Menurut salah satu gurunya di sekolah, GH Horensma, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun terkadang dirinya tidak patuh terhadap guru. Tan Malaka menyukai pelajaran bahasa Belanda. Dirinya sangat menikmati pelajaran bahasa Belanda. Karena kesukaannya ini gurunya Horensma menyarankan kepada dirinya untuk menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Selain otaknya yang cerdas dan kepintarannya dalam berbahasa, ternyata seorang pejuang kemerdekaan ini juga merupakan pemain sepakbola yang bertalenta. Dirinya sangat mahir dalam permainan sepakbola. Setelah dirinya lulus dari kweekschool pada tahun 1913, Tan Malaka ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun ternyata beliau hanya menerima gelar tersebut dan menolak tawaran tunangan tersebut.

Bulan Oktober 1913, Tan Malaka meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah). Dengan bantuan dana dari masyarakat desa Tan Malaka berangkat ke Belanda untuk menuntut ilmu. Sesampainya disana ternyata beliau terkena cultural Shock karena iklim dan berbagai hal yang berbeda beliau akhirnya terkena penyakit pleuritis pada tahun 1915. Selama masa kuliahnya di Belanda pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul. Pengetahuannya tentang revolusi meningkat setelah membaca buku Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda.

Setalah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, Tan Malaka mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu dia mulai membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan tokoh komunis dan sosialis lainnya. Karena pemahamannya yang telah berkembang dia menjadi benci kepada Belanda dan merasa terkagum-kagum kepada Amerika Serikat dan Germany. Saking terkagum-kagumnya Tan Malaka, dia mendaftar ke militer Germany. Namun dirinya ditolak karena Germany tidak menerima orang asing. Setelah beberapa waktu kemudian, dia bertemu dengan Henk Sneeviler, yaitu salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische. Sneevilet mengajak Tan Malaka untuk bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijerz Vereeninging (Asosiasi Demokratik Sosial Guru). Pada bulan November 1919 Tan Malaka lulus dari SDOV dan kembali ke desanya.

Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu, pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Sejak 1920-an, Tan Malaka mulai aktif menulis artikel untuk surat kabar kaum Bolshevik berbahasa Belanda “Het Vrije Woord” yang terbit di Semarang. Selain itu ia juga menulis brosur berjudul “Soviet” atau “Parlemen” di harian “Soeara Ra’jat” yang berisikan pendapatnya tentang kedua hal tersebut. Dia kemudian mulai berpolitik sebagai anggota ISDV. Dia mengusulkan nama “Partai Nasional Revolusioner Indonesia” untuk menggantikan nama ISDV biarpun akhirnya usul itu ditolak.

Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post. Selanjutnya, Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri. Namun ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas. Ia lalu membuka sekolah di Semarang atas bantuan Darsono. Tan Malaka pernah menjabat sebagai ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI). Beliau menjadi ketua umum yang kedua menggantikan Semaun. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Pada tahun 1924, Tan Malaka ditugasi oleh Komintern untuk menulis buku tentang Indonesia. Jadilah sebuah buku berjudul “Indonezja: Ejo Mestona Proboezjdajuesjtemja Vostok” yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia berarti “Indonesia dan Tempatnya di Timur Yang Sedang Bangkit”.

Pada kongres kedua komunis International Tan Malaka menentang gagasan Lenin. Lenin mempunyai gagasan bahwa Komunis harus menentang Pan-Islamisme. Tan Malaka menolak gagasan tersebut. Karena penolakannya itu dia akhirnya dikejar-kejar agen komunis international kemanapun dia pergi. Kemudian pada tahun 1925 ia berangkat ke Cina. Disanalah ia menghasilkan sebuah karya fenomenal yang dianggap sebagai perintis jalan menuju pemahaman tentang kemerdekaan, yaitu “Naar de Republik Indonesia” atau “Menuju Republik Indonesia”. Buku ini berisi seruan untuk meraih kemerdekaan. Hal inilah yang membuat beberapa tokoh menyebutnya “Bapak Republik Indonesia”.

Tahun 1926, sebagai bentuk sanggahan terhadap hasil rapat PKI di Prambanan, Tan Malaka membuat sebuah buku berjudul “Massa Actie”. Karena buku inilah Tan Malaka disebut sebagai pengikut Trotsky yang menyimpang dari ajaran Komunisme. Di Filipina, oleh salah satu media setempat Tan Malaka dipuji dan bahkan disejajarkan dengan pahlawan nasional Filipina, Jose Rizal. Oleh Muhammad Yamin ia dinobatkan sebagai “Bapak Republik Indonesia” dalam bukunya yaitu “Tan Malaka : Bapak Republik Indonesia.”

Antara tahun 1942-1943 Tan Malaka menulis buku berjudul “Madilog (Materialistis, Dialektik, dan Logis)” yang menyatakan kritiknya terhadap cara masyarakat memandang tradisi berbau tahayul, juga sebagai bentuk sinisme terhadap perilaku golongan tua yang mendekat ke Jepang sambil menyemangati golongan muda untuk terus berjuang. Tan Malaka juga pernah membuat sebuah autobiografi berjudul “Dari Penjara ke Penjara”.

Pada tahun 1946, dengan tuduhan menolak perjanjian Linggarjati, Tan Malaka ditangkap oleh Pemerintah Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa penangkapan ini adalah atas inisiatif pribadi Sutan Syahrir, karena kemudian seorang anggota militer yang bersimpati kepada Tan Malaka menyerang Sutan Syahrir. Kemudian, ketika revolusi Indonesia sedang mencapai titik kritisnya, Tan Malaka dibebaskan. Pada 1949, disebuah hutan di Jawa Timur, Tan Malaka tewas ditembak. Tan Malaka dimakamkan di Desa Selopanggung, Kediri.

 

SOURCE:

Wikipedia.org

Ensiklopedia Indonesia, 1997